Musim dingin, 14 Maret 2014.
Hari terakhir di Vienna, Austria, benua biru Eropa. Saya manfaatkan sisa waktu yang saya punya untuk berkeliling Vienna, di kota cantik ini sendiri karena besok pagi saya harus pulang ke Indonesia. Dua hari sebelumnya, saya sudah memiliki rencana untuk mengunjungi beberapa tempat terkenal yang belum sempat saya kunjungi di hari-hari sebelumnya yaitu Istana Schonbrun, Hundertwasserhaus, dan yang terakhir Stephan’s Dom. Sebenarnya sudah ke-3 kalinya saya mengunjungi Stephan’s Dom. Yang membuat tempat ini menarik karena disepanjangnya dipenuhi toko-toko oleh-oleh serta makanan-makanan enak. Pada dasarnya sudah banyak sekali foto selfie yang saya ambil selama saya jalan-jalan seorang diri. Namun, yang paling berkesan adalah foto selfie di depan bangunan indah ini – Hundertwasserhaus. Bangunan warna-warni ini dirancang oleh arsitektur Austria terkenal bernama Hundertwasser dimana dia juga merancang sebuah apartemen dengan konsep yang sama yaitu Darmstadt di Jerman.
Jalan-jalan sendiri di Vienna sangatlah mudah, nyaman dan aman. Tinggal pilih mau naik bus, tram atau subway dan dijamin kecepatannya seperti smartfren yang anti lelet. Tidak usah takut menunggu lama karena semuanya tepat waktu.
Bagi saya foto tersebut membuktikan pada diri saya sendiri bahwa rencana Allah selalu indah. Ya, ini adalah salah satu mimpi yang bisa saya wujudkan. Seberapa berat tantangannya? Sangat berat. Namun, saya selalu percaya akan rumus kemauan, usaha, doa serta menyerahkan semua hasilnya kepada Allah SWT..
Berawal dari 2012 lalu, saat saya menjadi camp leader untuk kegiatan workcamp yang diselenggarakan oleh salah satu voluntary organization. Disanalah saya bertemu dengan dua peserta paruh baya, pasangan suami-istri. Saya beserta peserta lain memanggil mereka dengan sebutan papi-mami. Singkat cerita, disitulah awal cerita ini dimulai. Merekalah yang setengah membukakan jalan saya ke Eropa. Memegang amanat yang diberikan oleh mereka untuk berkunjung ke Vienna, kota dimana mereka tinggal, saya mulai berusaha mewujudkannya. Saya hanya tidak menyangka, ingat betul setelah itu saya mengatakan tahun 2014 saya pasti ke Vienna. Percayalah, ucapan adaah sebuah doa. Benar saja, organisasi kerelawanan yang saya ikuti beberapa kali membuka aplikasi untuk kegiatan di luar negeri. Banyak pertimbangan untuk memutuskan kapan saya akan ambil kesempatan ini karena disaat yang sama saya sedang berjuang untuk meraih gelar S1. Akhirnya, setelah beberapa kali mengirimkan aplikasi dan sempat gagal, saya terpilih untuk berangkat ke Slovakia mengikuti program Training for Trainers selama tujuh hari dan ditambah lima hari untuk jalan-jalan ke beberapa negara terdekat. Ada yang menarik, lagi-lagi Allah bekerja dengan cara yang unik. Pada awalnya tanggal keberangkatan beberapa hari sebelum saya wisuda, namun berubah menjadi dua hari setelah saya wisuda. Jadi saya menganggap ini sebagai hadiah kelulusan saya karena sudah berusaha keras untuk mendapat gelar Sarjana Sastra ini.
Tepat dua hari setelah wisuda saya berangkat ke Slovakia dengan rute Semarang-Jakarta-Qatar-Vienna-Oscadnica (Slovakia). Di Slovakia selama 7 hari saya bersama teman-teman lain dari Thailand, Vietnam, Kamboja, Ceko, Prancis, Italia, dan Slovakia mengikuti kegiatan pelatihan kepemimpinan yang diselenggarakan oleh organisasi kerelawanan di Slovakia yang didanai oleh Uni Eropa, jadi kegiatan ini gratis. Kemudian, setelah program tersebut selesai, saya bersama beberapa orang dari mereka menuju ke Praha, Republik Ceko dengan menggunakan kereta api ala Eropa. Satu hari saya habiskan waktu di Praha yang begitu klasik dan kental akan kemewahan Eropa. Setelah itu, saya melanjutkan perjalanan sendirian menuju Vienna dengan menaiki bus pada pukul 23.00. Di dalam buss tersebut ada seorang wanita pemandu bis yang sepanjang perjalanan berbicara bahasa Jerman yang saya tidak mengerti artinya. Akhirnya, pada pukul 5.00 saya sampai ditempat tujuan. Saya melihat sekeliling terminal tersebut sangat sepi karena setelah turun dari bus orang-orang langsung pergi. Saya semakin ketakutan karena suhu udara saat itu sangatlah dingin, mungkin dibawah 10 derajat celcius atau bahkan lebih rendah. Namun, sebelum saya menitikkan air mata takut, dari kejauhan kedua orang yang sangat aku tunggu-tunggu datang menghampiriku, memberikan pelukan dan senyuman hangat. Pada detik itu air mata kebahagiaan dan rasa syukur menetes. Dalam hati saya berkata, “I accomplished one of my dreams, finally.”
That is a chapter of my life story. I live in my dream. But before I finish it, once again let me take a selfie.Cerita ini diikutsertakan dalam kompetisi #SelfieStory
Hari terakhir di Vienna, Austria, benua biru Eropa. Saya manfaatkan sisa waktu yang saya punya untuk berkeliling Vienna, di kota cantik ini sendiri karena besok pagi saya harus pulang ke Indonesia. Dua hari sebelumnya, saya sudah memiliki rencana untuk mengunjungi beberapa tempat terkenal yang belum sempat saya kunjungi di hari-hari sebelumnya yaitu Istana Schonbrun, Hundertwasserhaus, dan yang terakhir Stephan’s Dom. Sebenarnya sudah ke-3 kalinya saya mengunjungi Stephan’s Dom. Yang membuat tempat ini menarik karena disepanjangnya dipenuhi toko-toko oleh-oleh serta makanan-makanan enak. Pada dasarnya sudah banyak sekali foto selfie yang saya ambil selama saya jalan-jalan seorang diri. Namun, yang paling berkesan adalah foto selfie di depan bangunan indah ini – Hundertwasserhaus. Bangunan warna-warni ini dirancang oleh arsitektur Austria terkenal bernama Hundertwasser dimana dia juga merancang sebuah apartemen dengan konsep yang sama yaitu Darmstadt di Jerman.
Jalan-jalan sendiri di Vienna sangatlah mudah, nyaman dan aman. Tinggal pilih mau naik bus, tram atau subway dan dijamin kecepatannya seperti smartfren yang anti lelet. Tidak usah takut menunggu lama karena semuanya tepat waktu.
“What I like about photograph is that they capture a moment that’s gone forever, impossible to reproduce” – Karl Lagerfeld
Bagi saya foto tersebut membuktikan pada diri saya sendiri bahwa rencana Allah selalu indah. Ya, ini adalah salah satu mimpi yang bisa saya wujudkan. Seberapa berat tantangannya? Sangat berat. Namun, saya selalu percaya akan rumus kemauan, usaha, doa serta menyerahkan semua hasilnya kepada Allah SWT..
Berawal dari 2012 lalu, saat saya menjadi camp leader untuk kegiatan workcamp yang diselenggarakan oleh salah satu voluntary organization. Disanalah saya bertemu dengan dua peserta paruh baya, pasangan suami-istri. Saya beserta peserta lain memanggil mereka dengan sebutan papi-mami. Singkat cerita, disitulah awal cerita ini dimulai. Merekalah yang setengah membukakan jalan saya ke Eropa. Memegang amanat yang diberikan oleh mereka untuk berkunjung ke Vienna, kota dimana mereka tinggal, saya mulai berusaha mewujudkannya. Saya hanya tidak menyangka, ingat betul setelah itu saya mengatakan tahun 2014 saya pasti ke Vienna. Percayalah, ucapan adaah sebuah doa. Benar saja, organisasi kerelawanan yang saya ikuti beberapa kali membuka aplikasi untuk kegiatan di luar negeri. Banyak pertimbangan untuk memutuskan kapan saya akan ambil kesempatan ini karena disaat yang sama saya sedang berjuang untuk meraih gelar S1. Akhirnya, setelah beberapa kali mengirimkan aplikasi dan sempat gagal, saya terpilih untuk berangkat ke Slovakia mengikuti program Training for Trainers selama tujuh hari dan ditambah lima hari untuk jalan-jalan ke beberapa negara terdekat. Ada yang menarik, lagi-lagi Allah bekerja dengan cara yang unik. Pada awalnya tanggal keberangkatan beberapa hari sebelum saya wisuda, namun berubah menjadi dua hari setelah saya wisuda. Jadi saya menganggap ini sebagai hadiah kelulusan saya karena sudah berusaha keras untuk mendapat gelar Sarjana Sastra ini.
Tepat dua hari setelah wisuda saya berangkat ke Slovakia dengan rute Semarang-Jakarta-Qatar-Vienna-Oscadnica (Slovakia). Di Slovakia selama 7 hari saya bersama teman-teman lain dari Thailand, Vietnam, Kamboja, Ceko, Prancis, Italia, dan Slovakia mengikuti kegiatan pelatihan kepemimpinan yang diselenggarakan oleh organisasi kerelawanan di Slovakia yang didanai oleh Uni Eropa, jadi kegiatan ini gratis. Kemudian, setelah program tersebut selesai, saya bersama beberapa orang dari mereka menuju ke Praha, Republik Ceko dengan menggunakan kereta api ala Eropa. Satu hari saya habiskan waktu di Praha yang begitu klasik dan kental akan kemewahan Eropa. Setelah itu, saya melanjutkan perjalanan sendirian menuju Vienna dengan menaiki bus pada pukul 23.00. Di dalam buss tersebut ada seorang wanita pemandu bis yang sepanjang perjalanan berbicara bahasa Jerman yang saya tidak mengerti artinya. Akhirnya, pada pukul 5.00 saya sampai ditempat tujuan. Saya melihat sekeliling terminal tersebut sangat sepi karena setelah turun dari bus orang-orang langsung pergi. Saya semakin ketakutan karena suhu udara saat itu sangatlah dingin, mungkin dibawah 10 derajat celcius atau bahkan lebih rendah. Namun, sebelum saya menitikkan air mata takut, dari kejauhan kedua orang yang sangat aku tunggu-tunggu datang menghampiriku, memberikan pelukan dan senyuman hangat. Pada detik itu air mata kebahagiaan dan rasa syukur menetes. Dalam hati saya berkata, “I accomplished one of my dreams, finally.”
That is a chapter of my life story. I live in my dream. But before I finish it, once again let me take a selfie.
Keren sekali kisahnya yahh :) btw seneng banget jadi volunter ke luar negeri ^^ salam kenal saya juga ikuta loh.www.novawijaya.com/2015/04/selfie-story-in-beautiful-island.html
ReplyDeletemerinding bacanya. inspiratif. :)
ReplyDeletesalam kenal
http://flyingwithoutlimit.blogspot.com/2015/04/tidak-perlu-momen-penting-untuk-berfoto.html
Nice... wonderful... go ahead...
ReplyDelete1.
ReplyDeleteVienna itu kayaknya asyik ya mbak Amila Choirina, wuih jadi camp leader kegiatan workcamp organisasi volunteer, kereeen, asyik ketemu itu.
@guru5seni8
www.kartunet.or.id
wihhh cucok. keren perjalanannya...tp blom diceritain Training for Trainers ttg apa? info2 mbak..nama organisasinya apa? hehe..
ReplyDelete